![](https://sman1angkolabarat.sch.id/media_library/posts/large/afd043d46f3652f53d7231df26d4b207.jpg)
Cerpen Berjudul
Penulis : Vimey (Vimelia Fratiwi Hutapea)
Kelas : XII MIPA¹
Judul : Malam Berkah
Baru tadi pagi Bu Darmi membeli beras, sorenya dia lihat langsung tandas. Si bungsu pasti makan banyak hari ini, mengingat perutnya yang makin gembul saja. Pasti ia sudah menghabiskan stok nasi sampai sahur nanti.
Bu Darmi mendesah, apa yang harus ia makan saat berbuka dan sahur, sedangkan waktu berbuka tinggal satu jam lagi?
"Adek, jaga rumah, ya! Ibu mau beli beras dulu."
Bohong. Jelas ia tak punya uang sepeser pun. Bagaimana bisa ia membeli beras dengan tangan kosong?
Si bungsu mengangguk saja. Malah terkesan cuai karena lebih mementingkan mainan bekas yang ia dapat dari tetangga.
Bu Darmi melangkah melewati pagar. Tentu dengan wajah lesu dan lunglai.…
[19.19, 15/10/2021] Vimel 12 Ipa 1: CERPEN
Nama : Vimey (Vimelia Fratiwi Hutapea)
Kelas : XII MIPA¹
Judul : SEJARAH ALA BAPAK
Sejak keberangkatan, Stevan tak pernah berhenti menggerutu sambil menggolekkan kepala di pangkuan Mama. Kainan di sampingnya menutup kuping rapat-rapat, bahkan sibuk bernyanyi tak jelas saat suara Stevan semakin menusuk pendengarannya.
Kainan makin jengkel saat usahanya sia-sia. "Bisa diam gak, Bihun?!"
Bapak geleng-geleng, fokus menuntun delman yang membawa mereka menuju Keraton Yogyakarta.
"Mama ... Evan bosan. Evan gak mau ikut," rengeknya lagi.
"Bihun!" Kainan dongkol.
"Jangan muna deh, Bang! Bang Kai juga bosan, 'kan?"
Kainan melirik Bapak. Paruh baya itu hanya senyum-senyum. "Iya, tapi kali ini nggak."
"Najis ih si Bang Kai! Bilang aja takut Bapak!" teriak si bontot itu.
Dasar Bihun! Mentang-mentang anak paling kecil, seenak jidat menghina abangnya.
Kekehan Bapak menarik atensi mereka. "Kalau bosan, itu wajar. Nanti lama-lama juga biasa. Lihat itu Bang Umin sama Bang Sandy, sekarang dua-duanya anteng, 'kan? Gak ada yang merepet macam kalian. Dulu mereka juga kayak Inan sama Evan. Sering merengek sama Mama. Bahkan sempat kabur pas bersihin halaman belakang Keraton."
"Kabur ke mana, Pak?" Itu Kainan yang bertanya.
"Tanyain aja sama pelakunya langsung!"
"Palingan ke Malioboro makan ketoprak sama siomay." Si bungsu mencibir.
"Bapak marah gak saat itu?"
Bapak menggeleng. "Buat apa? Bapak maklum karena masa itu mereka lagi nakal-nakalnya."
"Bang Umin juga ikut? Anak sesoleh Bang Umin kabur?"
Mereka berdua menatap ke belakang, ke arah delman yang membawa abang-abangnya. Malah dibalas pelototan Kenzi. "Heh, Bocil! Jangan coba-coba ngegosipi kami, ya?"
"Udah terlanjur, wlee ...." Kedua anak itu mengejek si abang.
Sedangkan di delman paling belakang, Dio sedang berperang dengan emosinya. Di samping kiri-kanannya, Belvan dan Ceye sibuk melempar guyonan masing-masing. Setelahnya mereka akan tertawa, lalu tanpa dosa menimpuki Dio yang posisinya di tengah. Pelampias tawa maksudnya. Paling beringas memukul itu Ceye, tak sadar saja tangannya yang sebesar baliho alun-alun itu menistakan lengan dan punggung Dio yang kecil.
"Bang ...." Dio mencoba memanggil Iching yang sibuk mengendalikan si kuda. Bukan untuk mengadu, tapi mengode agar delman itu diberhentikan sejenak agar dia bisa melempar kedua curut ini. Kalau langsung lempar, kan gak etis! Gimanapun, Dio masih punya sedikit perasaan. Ingat! Hanya sedikit.
"Lihat ekspresi Bapak setelah lempar mercon ke sempak Calvin Klein tadi, Bang? Polos macam bayi!" Ceye seperti cacing kepanasan, tak henti tertawa dan memukuli Dio. Guyonannya bikin Belvan juga ikut tertawa.
Sliing!
Iching mendelik tajam. Bikin Ceye dan Bacon diam seketika. Pria itu sedang berduka, Kawan. Sebab barang berharga nan mahal miliknya telah terbakar karena ulah mercon Bapak.
"Nah, dah tahu Bang Iching lagi sensitif, masih aja bahas kejadian tadi." Dio puas sekali melihat duo rese ini kicep.
Setelah insiden bolongnya kacut berkelas itu, Iching jadi sangat sensi. Kesenggol dikit, aura kambingnya langsung keluar. Iya, kambing yang mau nyeruduk!
"Jangan bikin Abang nekad bikin kalian jalan kaki sampai Keraton!"
"Iya, maaf, Bang!" Keduanya menyahut bersamaan.
Iching kalau lagi marahan, ya gini! Mendadak serius!
Setelahnya, Iching lebih banyak melamun. Sebenarnya dia enak jadi bahan candaan, tapi jangan pancing kalau wajahnya lagi keruh.
Perjalanan berjalan aman. Sepasang suami istri dan sembilan anak mereka sudah turun dari kereta masing-masing. Sekarang sudah jam sepuluh pagi, saat-saat dimana matahari sedang terik-teriknya. Penjaga yang bertugas di gerbang menyambut mereka, mempersilahkan keluarga itu masuk tanpa bertanya neko-neko.
Mereka berkeliling sebentar dan dalam waktu yang sebentar itu pula, Bapak kembali mengulang sejarah Yogyakarta dan Keraton yang anak-anak itu sudah hapal luar kepala.
"Yogya itu lahir dari perjanjian Giyanti yang ditandatangani tahun 1755 yang menyatakan bahwa kerajaan Mataram dibagi menjadi dua kesultanan ...."
" ... kerajaan Mataram dibagi menjadi dua kesultanan ...." Stevan mengikuti gaya bicara Bapak yang sudah seperti sejarawan saja.
"Evan!" tegur Sandy pada adik bungsunya itu.
"Iya, Bang. Iya!"
"Ngantuk," komen Kainan, lalu menyenderkan kepala di bahu Dio. Langsung saja dapat toyoran keras dari si empu.
Cerita sejarah Bapak masih panjang, mulai dari pemerintahan Hamengkubuwono I sampai yang sekarang. Sambil membersihkan halaman Keraton, mereka mendengar dengan sangat malas.
"Duh, Bang Haliman, gak usah repot-repot!" Seorang pria datang menghampiri pasukan yang Bapak bawa. Dia Ahmad, salah satu Patih di sini. Dia juga yang mengurus Keraton.
"Gak apa-apa, Mad! Sekalian silaturrahmi! Sekarang saya sama keluarga kan semakin jarang ke mari. Palingan sekali sebulan. Apalagi Umin, Sandy, Iching, sama Belvan kerja di luar kota. Jadi susah kalau berkunjung." Bapak mengiring adik sepupunya itu ke balai. Membiarkan anak-anaknya bekerja bakti.
Memang tak sembarangan orang yang boleh masuk ke Keraton, tapi ada pengecualian dengan keluarga Pak Haliman. Bapak masih punya hubungan darah dengan Sultan. Bisa disebut sepupu seperti dengan Ahmad ini. Istilahnya, Bapak dan anak-anaknya masih berdarah bangsawan. Bapak sudah ditawarkan tinggal di bagian belakang Keraton di sebidang tanah milik keluarganya, tapi Bapak tidak mau. Alasannya, ingin berusaha sendiri tanpa mengandalkan harta warisan, tapi bukan berarti Bapak juga memutus hubungan dengan Kesultanan. Makanya Bapak rutin menggotong keluarga ke sini meski hanya sebulan sekali.
"Enakan di Istana Maimun!" Tiba-tiba Kainan melempar sapunya, lalu mendengus kesal.
Saudara yang lain menatapnya.
"Ya, iyalah! Di sana kan gak disuruh kerja!" Si Bihun ikut-ikutan.
"Loh, kok malah kesal?" Mama bertanya.
"Kai bosen di sini, Ma! Kalau Bang Umin pulang ke Medan, Kai mau ikut! Kai tinggal di rumah nenek aja!"
"Evan ikut!"
"Loh, loh, loh! Anak Mama pada kenapa ini?" Mama tersenyum kecil. Kainan dan Stevan itu sudah SMA, tapi rewelnya mengalahkan bayi.
"Enakan di Medan daripada di sini, Ma!"
"Kainan!" Sandy menegur adiknya itu.
Bapak yang menyadari keributan kecil anak-anaknya, pamit pada Pak Ahmad untuk melerai. Kebetulan Pak Ahmad juga akan pergi, lebih baik menuntaskan masalah tadi di balai sekalian menyuruh anak-anak istirahat. Bapak memutuskan memanggil mereka semua.
Sembilan anak muda itu sudah duduk setengah melingkar di hadapan Bapak dan Mama. Tak lupa dengan wajah kesal itu.
"Kainan, ada masalah apa?" tanya Bapak pada anak yang paling rewel tadi.
"Kainan mau ikut Bang Umin ke Medan, Pak!"
"Terus, sekolah? Kai kan udah kelas tiga?"
Kainan diam. Betul juga, pikirnya.
"Evan?" Kini pertanyaan itu dilempar pada si bontot.
"Sama kayak Bang Kai. Evan mau ikut Bang Umin, Pak!"
Bapak menghela napas. "Bapak tahu Kai sama Evan bosan dibawa ke Keraton mulu. Bapak sadar kalau kalian bosan mendengar cerita Bapak yang itu-itu saja."
Kedua bontot itu membuang muka. Iya, Bapaknya benar. Mereka memang bosan di Yogya ini.
Melihat anak-anaknya yang hanya diam, Bapak membuka topik lain. "Kalian belajar sejarah gak di sekolah?"
Kompak kedua bontot itu mengangguk. Meski masih tampak cuek.
"Menurut Kai sama Evan, kenapa ada pelajaran sejarah sejak SD? Kenapa bahas permasalahan yang sudah selesai? Pernah nanya begitu?"
"Pernah, Pak." Kainan yang menjawab.
"Terus, Kai dapat jawabannya, tidak?"
"Kata guru SMP, untuk menghormati pelaku sejarah dan mengambil pelajaran dari sana."
"Itu, tahu! Sebelum ke sana, ada yang mau menjelaskan pengertian sejarah?" Bapak sudah seperti Bu Laras, guru Sejarah dan Kebudayaan di sekolah Evan.
Semua diam. Bapak melirik Umin. "Bang?"
"Secara etimologi, sejarah berasal dari bahasa Arab, yakni sajarotun yang berarti pohon." Nah, kalau nanyanya ke Bang Umin, pasti tak jauh-jauh dari agama.
Bapak mengangguk-angguk. "Bang Sandy bisa jabarkan?"
"Jika diperhatikan struktur sebuah pohon, dia tumbuh mulai dari akar. Ibaratnya, akar itu adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi dari masa lampau, tumbuh membentuk batang, dahan, ranting, cabang hingga daun. Jika pohon itu berkembang baik, maka tak ayal akan tumbuh bunga dan buah. Kesimpulannya, hasil yang baik dimulai dari sejarah yang baik pula." Kalau yang berspekulasi itu Bang Sandy, otak profesornya yang bekerja.
"Nah, buah apa yang kamu petik saat mempelajari sejarah, Ching?" Iching kelimpungan, tak menyangka pertanyaan itu menodongnya. Oh ya, dia lupa. Sesi tanya jawab dadakan yang dipimpin Bapak itu selalu bergiliran. Sekarang ini bagiannya.
"Tanggung jawab dan ... motivasi?"
"Nah, itu! Apa rasa tanggung jawab bukan hal yang baik, Bang?" Kini giliran Belvan.
"Dia hal baik, Pak! Tanggung jawab itu menuntun seseorang menjadi dewasa," jawabnya percaya diri. Melihat Bapak mengangguk, Bacon alias Belvan menepuk dadanya bangga. Lantas berseru pada adik-adiknya, "tiru Abang ya, Adik-adikku!"
"Nah, ada yang mau ditambahkan lagi, Kenzi?"
"Tanggung jawab sama dengan mencintai dan menghargai. Saat mempelajari sejarah, manusia dituntut bertanggung jawab yang berarti menghargai dan mencintai orang lain. Kenapa? Karena sejarah itu bermakna dan tentu saja untuk diambil hikmahnya. Jika dia masih punya akal sehat, dia akan berusaha mengimbangi sejarah, mencoba menciptakan sejarah baiknya pula. Supaya apa? Agar keturunannya mengambil pelajaran dan melakukan hal yang sama."
Cukup rinci.
"Lalu, apa Abang sudah menciptakan sejarah baik itu?"
Ceye yang ditanyai hanya diam, lalu menggeleng. "Abang masih jauh dari kata baik, Pak! Abang tak yakin bisa menciptakan sejarah baik yang nantinya diceritakan pada keturunan Abang nanti."
"Apa Dio juga tak yakin? Apa yang membuat Dio ragu?"
"Bagaimana Dio akan menciptakan sejarah yang baik sedangkan Dio tak menghargai sejarah sebelumnya? Dio yakin akan ditertawakan dunia."
"Nah, apa Kai masih membencinya?"
Bocah itu menggeleng. "Kai merinding, Pak!" Matanya sudah merah dan berkaca-kaca.
"Menurut Evan, belajar sejarah Keraton itu baik, tidak?"
"Baik, Pak."
"Apanya yang baik?"
"Evan bisa belajar bahwa membentuk dan mempertahankan Keraton itu tak mudah. Apalagi melindungi hingga sekarang, hingga masyarakat bisa mengunjungi dan belajar darinya. Perjuangan itu tidak mudah, apalagi setelah datangnya Kolonel Belanda. Tapi ... Evan lebih menyukai sejarah ... Bapak."
Setelah penjelasan terakhir Evan, semua diam. Agaknya merenungi sikap mereka selama ini.
"Kalian tidak boleh melupakan perspektif sejarah. Tidak sembarang peristiwa bisa diklaim. Jangan cuma karena Evan bantuin Lam dan Lim mengurus anaknya, Evan langsung bangga dan menuntut untuk ditiru. Memang, Evan bisa menganggapnya begitu, tapi untuk diri sendiri. Sedangkan kita di sini membahas kebaikan untuk orang lain."
Evan langsung teringat dua induk ayam yang ia pelihara di rumah. Masing-masing kini punya anak lima, meski dulu tiap induk mengeram tujuh telur. Kemana yang lain? Digoreng Bang Dio atas perintah Bang Ceye.
"Meski begitu, Bapak tak menuntut kalian menjadi orang besar, orang yang dikenal seluruh dunia, tapi Bapak menginginkan kalian menjadi diri sendiri, anak-anak yang mampu bertahan di jaman yang semakin keras. Bapak yakin dengan begitu, akan selalu dikenang dan dihargai keturunan kalian nanti."
"Bapak hanya tak ingin kalian terperosok jauh," lanjut Bapak dalam hati. Menatap lamat-lamat wajah kesembilan anaknya.
Dari kejauhan, tetua Keraton menonton kumpulan kecil itu. "Apa kamu benar-benar menyesal, Man?" lirihnya. Menatap bapak sembilan anak itu sendu.
---END---
Komentar
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Cerpen Berjudul Momentum Terindah Karya Nirwana Harahap XII-5 Pemenang 2 Lomba Cerpen Antar Kelas Bertema Hari Guru
Momentum Terindah Waktu akan terasa melambat ketika kita sedang menunggu sesuatu tujuan yang belum tercapai oleh kita, tetapi ada beberapa menganggap
Cerpen Berjudul Pelita Hati Karya Wulan Lestari XII-4 Pemenang 1 Lomba Cerpen Antar Kelas Bertema Hari Guru
Pelita Hati Di sebuah sekolah ditengah perkotaan, Yura duduk di bangku paling belakang, tepat di samping jendela yang menghadap ke taman. Hembusan angin siang mener
Cerpen Berjudul "Insecure" Karya Neffy Feliska Kelas XI-4
Insecure Di sebuah desa yang indah dan asri hiduplah seorang gadis yang penuh cerita, penuh semangat, dan dia dijuluki si pemilik hati yang baik .namun di sis
Cerpen Berjudul Persahabatan Tanpa Batas Karya Ingatan Sutraman Kelas XII-3
Persahabatan Tanpa Batas Ingatan Sutraman XII-3 Di sebuah desa kecil bernama angkola barat ada enam sahabat yang selalu bersama dalam suka maupun duka. Mada
Cerpen Berjudul "Maaf" Karya Fauziah Meylani Kelas XI-5
Maaf Fauziah Meylani Di sebuah kota kecil yang tenang, tinggal seorang pemuda bernama Dimas. Dimas adalah seorang yang sederhana, bekerja sebagai penulis lepas. Ha
Cerpen Berjudul "Pagi yang Berbeda" Karya Fauziah Meylani Kelas XI-5
Pagi yang Berbeda Fauziah Meylani XI-5 Hari pertama masuk sekolah selalu menjadi momen yang mendebarkan bagi banyak siswa, tidak terkecuali bagi Arif, seorang sisw
Sebuah Cerita Pendek Berjudul "Setiap Detik Adalah Kesempatan" Karya Ahmada Nuari Kelas XI-5
"Setiap Detik Hidup adalah Kesempatan" karya Ahmada Nuari XI-5 Mia adalah seorang wanita muda yang hidup di tengah-tengah keluarganya dengan penuh perjuangan. Terlahir da
Cerita Pendek dari Fauziah Meylani Kelas XI-5
“MINDSET“ Fauziah Meylani Aku adalah Hana Putri Dewi, seorang anak bodoh yang lahir di keluarga kaya. Aku tidak menyangkal bahwa aku memang malas belaj
“Harapan Hana” Cerita Pendek dari Qori Saulina XI-5
Malam yang hangat ditemani keluarga besar, menyaksikan keindahan letusan kembang api di langit yang gelap. Perayaan tahun baru yang dirayakan satu kali satu tahun i
CERPEN BERTEMA HOROR KARYA "KEYLA SALSABILA" KELAS XI-5
Kuntilanak di Rumah Kos Dina selalu merasa ada yang janggal dengan kamar kos barunya. Rumah kos tua itu terletak di ujung gang, jauh dari keramaian. Sewanya murah, dan ka
No comment, the best writing work of Vimelia, and always .